Umat muslim punya penanggalan tahun sendiri yang telah memasuki pintu abad ke-15. Sering kita sebut sebagai tahun Hijriah. Dalam kalender Hijriah sebenarnya banyak peringatan hari-hari besar keagamaan. Hari-hari tersebut memiliki jiwa dan spiritnya yang khas dan berbeda-beda. Seperti hari kelahiran Nabi Muhammad Saw (Maulid Nabi), Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw, Hari Raya Idul Adha, Puasa Ramadan dan Idul Fitri. Momentum hari besar keagamaan tersebut –bila didalami secara sungguh-sungguh dan teliti-- dapat membuka pikiran dan hati kita. Namun, bagi penulis bulan Ramadan merupakan kunci dan momentum yang paling tepat membuka pikiran dan hati tersebut.
Selain durasinya yang panjang, Ramadan banyak
diisi dengan agenda-agenda yang dapat mendekatkan seseorang dengan penciptanya seperti
puasa, sahur, shalat tarawih, tadarrus al-Qur’an dan kegiatan pendalaman
ilmu agama. Ditambah lingkungan yang mendukung agar umat muslim selama Ramadan
dapat menjalankan berbagai aktivitasnya dengan khusyu dan tenang. Seperti
munculnya acara-acara televisi yang lebih religius, musik-musik religius,
produksi baju muslim dan lain-lain. Bahkan di penghujung Ramadan umat muslim
secara sadar dan penuh penghayatan banyak yang melakukan iktikaf. Juga ada yang
menyambungkan tali silaturahmi dan persaudaraan ke desanya masing-masing yang
sering kita sebut dengan istilah mudik.
Sebab itu, Ramadan sering juga disebut sebagai
bulan latihan (tarbiyah). Latihan mendekatkan diri pada Allah Swt,
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya, peduli terhadap sesama serta
menumbuhkan sikap empati dan berbagi. Sebab, salah satu hikmah berpuasa ialah
agar orang tahu bagaimana rasanya menahan lapar dan minum yang selama ini
dirasakan oleh mereka kaum dhuafa. Di bulan ini pula, seseorang dilatih
agar memperhatikan rutinitas sehari-harinya. Agar rutinitas tersebut tertatur,
terpola dan tidak berantakan dan berlebihan. Orang yang biasanya belum bangun
sebelum fajar menyingsing, di bulan Ramadan mau tidak mau harus membiasakan
diri untuk makan sahur.
Dalam ilmu kimia, ada satu pelajaran tentang
sistem dan lingkungan. Bila kita tarik ke sana,
ternyata Ramadan harus diakui telah menawarkan sistem perbaikan diri
yang sangat baik. Diri seseorang dalam hal ini bisa ditingkatkan lagi baik
kualitas pikiran dan kebeningan hatinya. Lingkungan yang telah penulis sebutkan
di atas berpeluang besar untuk proses perbaikan diri tersebut. Oleh karena itu,
momentum bulan Ramadan ialah momentum yang sangat baik agar seseorang bisa
menghayati kembali hidup beragama secara
baik dan benar. Kapan lagi memanfaatkan durasi panjang bulan Ramadan ini dengan
sebaik-baiknya?
Suasana dan kondisi Ramadan seperti ini sangat
mendukung untuk melatih kegiatan berpikir dan mengasah kepekaan batin.
Banyaknya kajian dan kegiatan pendalaman ilmu Keislaman diharapkan mampu
merubah mindset atau pola pikir seseorang menjadi lebih luas dan dalam.
Harapannya adalah agar tradisi pemikiran ini di lingkungan umat Islam terus
berkembang dan mendapatkan tempatnya sendiri. Adanya peluasan dan pendalaman
pikiran ini menurut penulis akan mendorong kepada suasana beragama yang
dinamis, korektif dan bertanggung jawab. Karena beragamanya seseorang tersebut
didasari atas kesadaran pikiran yang memuat sumber-sumber pengetahuan yang akan
mempengaruhi cara pandangnya terhadap fenomena keagamaan.
Bukan hanya pemahaman terhadap sendi-sendi
beragama yang mendapatkan momentumnya di bulan Ramadan ini, namun soal rasa (dzauq)
atau penghayatan agama dengan hati juga berpotensi bangkit dan siuman di bulan
suci ini. Shaum Ramadan bukan hanya sekedar mengosongkan perut dan
menahan dahaga. Lebih jauh karena di balik itu semua ada pelajaran penting yang
harus dirauk oleh kita yang menjalankannya yaitu semangat kepedulian pada kaum dhuafa,
nilai kesabaran dan keikhlasan saat dihadapkan godaan lahiriah maupun batiniah
dan konsistensi ketaatan yang harus dirawat terus menerus agar menjadi orang
yang taqwa dengan sebenar-benarnya taqwa.
Comments
Post a Comment