Masyarakat Islam di lingkungan penulis, bila berbicara soal keimanan
atau aqidah, kadang-kadang hanya mengandalkan keyakinan dalam hati saja. Mereka
takut bila berbicara soal keyakinan dengan akal pikirannya. Bila membicarakan
keyakinan menggunakan akal pikiran takut dianggap kalenger atau keblinger
(gila). Mungkin banyak sebab yang menjadikan kondisi ini terus ada.
Sehingga membicarakan soal akidah menggunakan akal pikiran tidaklah familiar –meskipun
ada sebagian kecil orang saja.
Situasi ini bagi penulis sendiri bukanlah masalah yang besar, tapi
mesti dirubah. Karena pada dasarnya alat
untuk mempercayai atau meyakini sesuatu ialah hati kita. Pertanyaannya ialah
apakah ada alat lain untuk memperkuat keimanan dan keyakinan kita pada Allah
Swt? Penulis termasuk ke dalam orang-orang yang menjawab ada. Betul, ada alat
lain untuk mempertebal keyakinan kita yaitu dengan menggunakan akal pikiran. Bukankan
akal pikiran dapat merusak keimanan? Inilah yang akan menjadi bahasan utama
tulisan kali ini.
Berpikir menandakan bahwa manusia diberi keistimewaan fungsi tubuh
yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Melalui berpikir, dapat disimpulkan
sesuatu dengan benar bila cara berpikirnya juga benar. Bila tidak dibarengi
pikiran, mungkin tidak ada bedanya antara manusia dan hewan. Melalui proses
berpikir inilah manusia bisa memanfaatkannya dengan baik. Termasuk dalam soal
kepercayaan kepada Tuhan.
Di lingkungan pengikut aliran As’ariyah (pengikut imam Asy’ari)
yang paling pertama dipahami terlebih dahulu jika berbicara tentang Tuhan ialah
bahwa Tuhan itu ada (wujud). Sejak kecil kita selalu menyanyikan sifat wujud
tersebut dalam 20 sifat wajib bagi Allah Swt. Sifat-sifat Tuhan yang lainnya tidak mungkin
ada kalau Tuhannya sendiri tidak ada. Menurut KH. Aqiel Siradj (mantan ketua
umum PBNU) dalam kesempatan ceramahnya, mengatakan bahwa dalam teks al-Qur’an sendiri
redaksi atau kalimat bahwa Tuhan itu ada ialah tidak ada. Jadi, dari manakah
kesimpulan bahwa Tuhan itu ada muncul?
Mengenai hal ini, ada salah satu filsuf muslim terkenal bernama
Al-Farabi. Filsuf ini telah dijuluki di dunia islam sebagai muallimin al-tsani
(guru kedua), karena ia berhasil dalam mengenalkan kepada dunia muslim serta
memahami teori-teori filsafat Aristoteles (guru pertama). Salah satunya tentang
adanya Tuhan. Aristoteles sendiri berpendapat bahwa alam dunia ini adalah
untaian sebab akibat. Misalnya adanya cahaya bulan karena ada cahaya matahari, adanya
cahaya matahari karena ada mataharinya dan seterusnya.
Kendati alam ini merupakan untaian sebab akibat yang kompleks dan
sangat panjang, namun ia menyimpulkan bahwa harus ada sebab terakhir yang
berdiri sendiri. Sebab terakhir inilah yang merupakan penyebab adanya alam
semesta ini. Al-Farabi menggunakan pendapat ini dan berusaha memasukkan
pendapat ini ke dalam alam pikiran masyarakat Islam.
Pikiran ini sangatlah sesuai dengan keyakinan dan akidah Islam. Bahwa
alam semesta ini tidak mungkin ada tanpa ada penciptanya. Lalu ia menyimpulkan
sebab pertama itulah yang dinamakan Tuhan. Sehingga pertanyaan apakah Tuhan itu
ada atau tidak dapat terjawab. Jadi, ada
peran Tuhan di balik segala penciptaan alam semesta ini.
Tuhan itu adalah dzat yang wajib ada menurut Al-Farabi. Ia
menyebutnya dengan istilah wajibul wujud li dzatihi (wajib ada karena
dzatnya) atau wujud yang mutlak. Bukan ada gara-gara ada yang lainnya. Adapun
makhluk-Nya yang diciptakannya, ia namakan dengan wajibul wujud lighairihi (wajib
ada karena lainnya) atau wujud yang mumkin. Seperti kasus cahaya bulan
di atas. Wujud kedua ini bisa jadi ada bisa jadi tidak ada. Oleh karena itu
sifat makhluk itu tidak abadi (fana).
Pendapat Aristoteles yang diteruskan oleh Al-Farabi ini sangatlah
penting. Dengan menggunakan akal pikiran atau melalui proses berpikir mereka
dapat memberikan pemahaman baru bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Al-Farabi
meyakinkan orang tidak melalui proses
dogmatis namun dengan jalan berpikir.
Kesimpulan dari bahasan ini ialah bila kita berpikir dengan
sungguh-sungguh, maka ia akan menemukan jalan kebenaran. Karena itu, berpikir
justru bisa menambah keimanan bukan merusak keimanan itu sendiri. Proses
berpikir, termasuk tentang keimanan, bukanlah hal yang seharusnya dihindari atau
tabu, tapi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan niat menemukan
kebenaran.
Comments
Post a Comment