Ciri khas bulan
Ramadan ialah shaum atau puasa selama sebulan penuh. Sudah tentu yang
namanya puasa ialah menahan diri dari rasa lapar dan haus. Uniknya, di bulan
Ramadan ini banyak umat muslim yang menahan lapar, namun Ramadan juga menjamin
tidak akan ada banyak orang yang perutnya kelaparan.
Buktinya di
setiap tempat ibadah dan tempat-tempat lainnya banyak yang membagikan makanan
gratis. Infak dan sedekah meningkat. Apalagi menjelang idul fitri, pasti ada
pembagian zakat fitrah pada orang-orang yang membutuhkan. Belum lagi ada santunan
THR dan gaji ke-13 yang biasanya dialirkan ke pegawai negeri.
Bulan Ilmu
Pengetahuan
Selain itu,
Ramadan mendorong setiap orang agar belajar lagi ajaran agamanya. Karena ada
suasana yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Ada spiritualitas yang
meningkat di tengah masyarakat maupun individu masing-masing. Jadi, Ramadan
ialah waktu yang tepat untuk menggali ilmu. Ramadan adalah bulan ilmu yang
kedatangannya mengakibatkan banyak perubahan.
Banyaknya
forum-forum keilmuan membuktikan bahwa Ramadan ialah bulannya ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu-ilmu keislaman. Ada juga yang menyebutnya bulan literasi. Manifestasinya
ialah seperti adanya pesantren kilat di setiap tempat. Meskipun kilat namun
ilmunya sangatlah bermanfaat. Kuliah tujuh menit (kultum) menjelang magrib di
berbagai televisi serta acara kompetisi tausyiah di momen sahur. Tak sedikit
juga yang berlomba-lomba mengkhatamkan al-Qur’an.
Dorongan
terhadap pendalaman ajaran Islam beserta kebudayaan, sejarah dan tokoh-tokohnya
seolah menemukan momentumnya di Bulan Ramadan. Ini merupakan hal yang positif.
Karena, dunia ilmu pengetahuan dewasa ini seolah-olah harus dikiblatkan ke
dunia Barat. Padahal di dunia Muslim sendiri tersimpan kekayaan intelektual
yang nilainya tinggi.
Apabila
penggalian terhadap warisan keilmuan (turats) Islam terus digenjot diawali
di bulan ini, penulis yakin umat Islam tidak akan merasa kehilangan identitas
dan kepribadiannya di hadapan dunia internasional sekalipun. Ramadan bisa
menjadi titik awal munculnya kesadaran kolektif untuk menggali kembali
arkeologi ilmu pengetahuan yang diciptakan masyarakat Islam itu sendiri.
Mengapa penulis
mengajak pembaca agar satu frekuensi dalam hal ini? Karena faktanya ilmu
pengetahuan yang berkembang di Barat khususnya dalam pemikiran, filsafat,
hukum, ketatanegaraan, teologi bahkan matematikan dan ilmu alam lainnya, banyak
yang merujuk pada ilmuan-ilmuan muslim. Sekalipun hal ini disembunyikan oleh
Barat, suatu saat nanti sejarah pasti akan menjawabnya.
Pengaruh
Khazanah Islam
Penulis
misalkan dalam lapangan filsafat saja, bukan main pengaruhnya bagi Barat. Filsafat
berjalan melewati peradaban Islam. Filsafat memang awalnya berkembang di
Yunani, namun ilmu yang dikenal rumit ini tidak mungkin sampai ke Barat tanpa
berkembang terlebih dahulu di dunia Muslim. Filsafat tumbuh subur di Jazirah
Arab dan Parsi.
Mereka yang
pernah belajar filsafat kemungkinan besar mengenal yang namanya Rene Descartes.
Dikenal sebagai bapak rasionalisme di dunia filsafat. Kalimatnya yang paling
terkenal ialah cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Ia meragukan
(skeptis) terhadap semua yang diindra oleh dirinya, meragukan kebenarannya. Seperti
saat bermimpi, seseorang merasa mimpi itu nyata. Padahal itu hanyalah mimpi.
Kehidupan yang
sekarang kita jalani pun bisa jadi adalah mimpi semata. Karena tidak ada
seorangpun yang menjamin kita saat ini sedang tidak bermimpi. Tapi menurutnya,
karena kita sedang berpikir, diri kita sedang berpikir, maka kita sejatinya ada
dan tidak sedang bermimpi. Descartes mengatakan bahwa diri kita punya jiwa yang
pekerjaannya ialah berpikir.
Sekalipun kita
bisa membayangkan anggota tubuh kita tidak ada, namun kita tidak bisa
mengatakan jiwa atau diri kita tidak ada. Maka, menurut Descartes jiwa ini
merupakan substansi yang berbeda dengan tubuh. Jiwa itu tidak tunduk pada
tubuh. Apabila tubuh mati maka jiwa akan tetap ada. Abadi.
Pengaruh Ibnu
Sina dan Al-Ghazali
Apa yang
dikatakan Descartes tidak jauh berbeda dengan Ibnu Sina dan Imam Al-Ghazali.
Ibnu Sina yang di Barat dikenal dengan nama Avicenna mengatakan bahwa jiwa itu
akan selamannya ada. Bukti adanya jiwa karena manusia pada dasarnya dapat
berpikir. Ibnu Sina membayangkannya seperti orang terbang.
Bayangkan bila
seseorang terbang dan anggota tubuhnya satu sama lain tidak bersentuhan.
Matanya tertutup. Ia mungkin bisa membayangkan tubuhnya tidak ada, namun ia
tidak mungkin berpikir dirinya tidak ada. Tanpa ragu ia akan meyakini bahwa
dirinya ada. Kekuatan pikiran itu tidak lain adalah karena ada jiwa. Apa
bedanya dengan Rene Descartes? Mungkinkah Descartes membaca pemikiran Ibnu
Sina.
Selain itu,
pendapatnya tentang mimpi, hampir mirip seperti Al-Ghazali. Ia mengatakan
kehidupan ini bisa jadi hanya mimpi di mana setiap orang melihat objek di dalam
mimpi itu seakan-akan benar. Setelah kematian baru ia bangun dan mengetahui
bahwa apa yang dilihatnya selama ini di dunia adalah palsu.
Pendapat
Al-Ghazali ini seperti yang dikatakan Nabi “Manusia ini tidur, dan kalau
mereka sudah mati, maka mereka baru bangun”. Descartes hanya mengatakan
bahwa saat berpikir maka sesungguhnya ia ada. Namun Al-Ghazali jauh lebih ke
depan, pikiranpun punya kelemahan yang tidak bisa dilihatnya.
Sehingga
menurut Al-Ghzali hanya kelompok yang sudah tersingkap tabirnya (mukasyafah)
yang bisa melihat kebenaran yang tidak bisa dilihat akal pikiran. Selain kasus
ini, banyak tokoh muslim lainnya yang menguasai lapangan ilmu lainnya. Teori-teorinya
banyak dikembangkan di Barat. Bahkan kitab kedokteran Ibnu Sina jadi standar
ilmu kedokteran di universitas Barat hingga abad ke-18.
Dari sini kita
bisa melihat bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam sejatinya
tidak kalah hebat dibanding dengan Barat. Ramadan ialah momentum yang tepat
untuk menggali kembali pemikiran dan kekayaan para tokoh muslim. Supaya kita
sebagai umat muslim bangga dan termotivasi atas semangat mereka dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Comments
Post a Comment