Sepanjang
hidupnya, Nabi Muhammad Saw tercatat berdakwah di kota Makkah selama 13 tahun,
kemudian di Madinah selama 10 tahun. Perjuangan dakwah beliau tidaklah mudah
sebagaimana perjuangan para nabi dan rasul lainnya yang pernah diutus Allah
Swt. Target utama para nabi itu dalam misi dakwahnya di antaranya ialah menegakan
tauhid (mengeesakan Allah Swt) dan memperbaiki akhlak umatnya. Memberi kabar kepada
semua orang --tanpa terkecuali-- bahwa hanya ada Allah Yang Maha Esa, tiada
siapapun yang berhak disembah kecuali hanya Dia.
Di samping itu,
merubah tabiat dan akhlak kaumnya juga merupakan agenda utama para nabi. Perubahan
tersebut sebagaimana yang kita baca dalam tarikh Islam tidaklah mudah.
Ada tantangan yang kualitasnya kecil hingga besar. Misalnya perjuangan Nabi Nuh
di tengah-tengah umatnya yang sebagian besar abai terhadap risalah beliau. Hingga
datanglah azab Allah berupa banjir besar ke semua penjuru negeri.Bahkan anaknya
sendiri tidak mau mengikutinya.
Perjuangan Nabi
Ibrahim untuk bisa meyakinkan umatnya agar tidak menyembah patung. Hingga ia
mesti berurusan dengan seorang raja yang angkuh dan merasa besar, ialah raja
Nambrud. Adapun Nabi Musa yang mau tidak mau mesti mengingatkan Fir’aun dan
umatnya bahwa Tuhan itu hanyalah Allah Swt bukan yang lain. Hingga Musa dikejar
dan diintimidasi oleh keluarga kerajaan. Bahkan ditantang adu kekuatan mistik
oleh mereka.
Adapun Nabi
Muhammad Saw juga harus mengemban risalah Islam kepada umatnya yang mereka tidak
begitu saja mengaminkan apa yang dikatakan dan didakwahkannya. Banyak kejadian
yang kurang atau bahkan tidak manusiawi kepada beliau. Seperti melempari Nabi
dengan kotoran, meludahi atau menaruh pecahan-pecahan kaca di depan rumahnya
saat subuh.
Sahabatnya
ditimpa dengan siksaan dan intimidasi yang kejam. Saat peperangan Nabi pernah
terkena serangan musuh hingga ada darah yang mengalir. Itu semua dilakukan demi
tersebarnya ajaran Islam agar bisa sampai kepada kita dewasa ini. Bayangkan
bila saat itu para Nabi dan sahabatnya tidak berjuang untuk ajaran Islam. Mungkin
ibadah puasa Ramadan yang sedang kita jalani ini tidak akan pernah kita nikmati
keberkahannya.
Sebab itu,
tidak ada sesuatu pun yang disebarkan oleh para Nabi selain kebaikan bagi
seluruh umatnya. Melalui praktek beragama yang beragam. Kebaikan tersebut ada
dalam setiap pelaksanaan ibadah. Misalnya dalam ibadah haji terdapat nilai
kesederajatan sebagai umat manusia (egaliter). Buya Syafii Maarif menyebut ibadah
haji sebagai simbol abadi egalitarianisme. Begitupula dalam salat lima waktu, zakat, dan termasuk
pula puasa Ramadan.
Dalam
ibadah-ibadah tersebut kita dianjurkan agar mampu memancarkan nilai-nilai kebaikan
yang ada di dalamnya. Momentum puasa Ramadan harus mampu menghadirkan kesadaran
kolektif akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kebaikan tersebut. Kebaikan
untuk diri sendiri maupun bagi orang lain di sekitarnya. Itulah semangat yang
hendak dibagikan para Nabi dalam aspek-aspek ibadah. Jadi ibadah bukan hanya
dilihat lahiriahnya saja. Tapi aspek dalam (esoterik) di dalam ibadah tersebut
benar-benar harus memancar dari diri kita.
Apabila kita
telah mampu menangkap makna terdalam dalam setiap ibadah itu, maka khususnya di
bulan Ramadan ini, kita punya peluang besar untuk terus menerus meningkatkan
kualitas iman dan takwa kita kepada Allah Swt. Nilai-nilai kebaikan yang ada di
dalamnya itulah yang para Nabi selalu rawat agar umatnya sadar. Sadar bahwa
mereka mahkluk bertuhan yang harus memperbaiki akhlak kepada semua unsur dan
menebarkan kebaikan. Sebagaimana yang diharpkan Nabi yaitu menyempurnakan akhlak
manusia (liutamimma makarimal akhlak) di muka bumi ini.
Comments
Post a Comment