Dalam beberapa artikel yang telah penulis angkat, sekali lagi ingin
penulis sampaikan bahwa Ramadan merupakan pusatnya momentum kebaikan. Karena di
bulan ini sangat banyak celah-celah kebaikan yang bisa diraih mulai dari puasa,
salat tarawih, berbuka puasa, tadarrus al-Qur’an, sahur dan yang
lainnya. Sehingga Ramadan merupakan waktu yang tepat untuk proses me-refresh
atau mensucikan raga dan jiwa kita agar semakin dekat dengan-Nya. Sebagaimana
tujuan utama berpuasa yaitu supaya menjadi orang-orang yang benar-benar
bertaqwa. Bukan taqwa sementara.
Mensucikan diri di bulan Ramadan tidak lain agar di hari raya kita
dapat kembali kepada kefitrahan (kesucian diri). Yaitu kondisi di mana seseorang
yang telah menjalani puasa benar-benar kembali pada kesucian layaknya bayi yang
baru lahir. Bersih hatinya tanpa ada keburukan yang terbawa. Mengenai ini Nabi
bersabda:
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman
dan keikhlasan maka akan terlepas dari dosa-dosanya sehingga menjadi bersih
kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Apabila tidak benar-benar menjalani Ramadan ini, puasa kita tidak
lebih dari sekedar menahan lapar dan haus saja. Sedangkan derajat taqwa sebagaimana
yang diinginkan oleh kita tidak tercapai. Menurut penulis inilah suatu kerugian
yang akan menjadi penyesalan kelak. Dalam istilah Bahasa Sunda ada istilah “cape
gawe teu kapake”(Sudah lelah bekerja tapi tidak terpakai).
Sangat disayangkan, karena banyak hal yang akan ujungnya sia-sia.
Apabila kita gagal dalam menjalankan ibadah ini, pertanyaannya apakah kita
tidak kasihan kepada orang tua atau istri kita yang setiap hari menyediakan
makan? Juga kepada diri sendiri yang sudah mengosongkan perut dari pagi hingga
sore hari? Inilah yang harus senantiasa dipertimbangkan dalam kondisi saat ini.
Sebisa mungkin kita memelihara diri agar tidak banyak melakukan kesalahan.
Berbicara tentang mencusikan jiwa, dalam ilmu tasawuf ada tiga
tahapan agar seseorang mampu melakukan hal tersebut. Pertama, tahapan
mengosongkan diri (takhalli). Maksudnya ialah mengosongkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang tercela. Perbuatan yang dapat mengotorkan jiwa dan menutupnya dari cahaya
kebaikan. Misalnya perbuatan riya,
ghibah, fitnah, berprasangka buruk atau dengki kepada orang lain. Itu semua
harus dijauhi dalam rangka mensucikan jiwa. Proses ini memang sulit. Namun kita
harus bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk tersebut.
Tahap kedua, menghias dan meperindah diri (tahalli).
Pada tahap inilah kita memperbanyak amal baik yang telah diperintahkan oleh Allah
Swt. Apalagi di bulan yang suci ini waktu dan lingkungannya sangat tepat bagi
kita untuk menambah pundi-pundi amal baik. Hiasilah jiwa dan hati kita dengan
sesuatu yang baik. Karena menurut Imam Al-Ghazali hati itu ibarat kaca. Kalau bersih
maka sekali lagi cahaya akan masuk ke dalam hati kita. Kalau kotor dan gelap
mustahil cahaya tersebut sampai.
Ketiga, merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya suci dan bersih (tajalli).
Tahap ini juga ada yang mengatakan yaitu ketika seseorang mampu berbuat baik
dan menampakkan kebaikan-kebaikan yang telah diperintahkan Tuhan. Kadang ada
juga yang menyebut sebagai manifestasi kebaikan Tuhan di muka bumi. Inilah
tahap yang kadang sulit untuk dijelaskan kepada kita sebagai orang awam. Namun
intinya ialah kondisi terakhir ini diri kita telah mampu membersihkan jiwa dan
hati.
Ketiga tahapan tersebut tentu tidak mudah. Apalagi untuk sampai
tahap terakhir. Sehingga dalam istilah tasawuf kita mengenail kata riyadhah atau
latihan diri. Jadi untuk mencapai itu semua perlu latihan secara berkelanjutan.
Artinya kondisi tersebut tidak sekali jadi. Butuh proses untuk mencapai itu
semua. Akan tetapi, sebagai umat muslim jadikanlah proses itu sebagai suatu
jalan bagi kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Mudah-mudahan Allah Swt
mencatat setiap perjalanan kita sebagai kebaikan yang mampu mengantarkan kita
pada kesahajaan.
Comments
Post a Comment