Suatu hari seorang perempuan gelisah karena merasa keadaannya saat itu begitu dilematis dan rasanya begitu berat memikul keadaan. Ia telah memasuki usia di mana teman-temannya telah lebih dulu dipinang oleh laki-laki. Ia ingin seperti mereka yang telah menemukan tambatan hatinya (menikah), bisa mencurahkan segala beban hidup yang dirasakannya. Bercengkrama bersama suami, menyiapkan sarapan pagi dan memadu kebersamaan yang bila dilukiskan akan tiada terkira indahnya.
Sementara pendidikan tinggi yang
sedang ia tempuh, baginya bukan suatu penghalang untuk melangsungkan pernikahan
di tengah masa-masa kuliah. Ia selalu berkata siap dan mau menanggung resiko.
Pernyataan itu yang selalu ia sampaikan pada seorang laki-laki yang pada waktu
itu sangat dekat dengannya. Ia memang perempuan yang jujur dan mau berbicara
apa adanya. Kurang lebih seperti itulah alam pikiran perempuan tersebut yang
bisa penulis tangkap. Ia punya itikad baik menjalin hubungan yang lebih serius
yaitu pernikahan.
Situasi dilematis yang dirasakan
oleh laki-laki yang waktu itu dekat dengan perempuan tersebut juga tak kalah
hebatnya. Dilematis karena laki-laki tersebut juga sama halnya yang sedang
menempuh pendidikan tinggi. Barangkali tidak ada seorangpun yang tidak mau
hidup bersama dengan orang yang dikasihinya. Setiap orang punya perasaan yang
sama bahwa keinginan hidup bersama dengan tambatan hatinya bisa terwujud. Bukan
hanya itu, bahkan setiap orang selalu berharap mereka harus bisa bertahan hingga mautlah yang dapat
memisahkan.
Apa yang terlihat jelas di antara
perempuan dan laki-laki tersebut pada saat itu adalah “perang pikiran dan batin”.
Si perempuan, karena ia merasa telah lama menjalin interaksi dengan laki-laki
tersebut, dalam beberapa waktu mengatakan bahwa dirinya sudah tak mau berlama-lama
lagi untuk menikah. Dengan harapan beban tadi yang telah disebutkan di atas
sirna sama seperti teman sebayanya yang telah sah dipinang oleh laki-laki.
Baginya menikah selain mengurangi gundah gulananya, juga akan meringankan beban
keluargannya. Ini cerita alam pikiran perempuan tersebut.
Si laki-laki saat perempuan
tersebut mengutarakan keluh kesahnya, dalam batinnya juga tidak mau lagi
megumpulkan banyak alasan untuk memberikan tenggat waktu lagi. Namun, batinnya
juga sama menjerit karena dalam realitasnya ia belum mampu memenuhi keinginan
perempuan itu. Dalam pikirannya, tentu akan banyak hal yang harus dipersiapkan
demi membangun rumah tangga. Bekal kebutuhan pokok sehari-hari, tempat tinggal,
biaya kuliah keduanya, apalagi bila nanti tiba saatnya bersalin. Laki-laki
tersebut belum mampu membayangkan kebutuhan-kebutuhan tersebut datangnya dari
mana.
Suatu hari perempuan dan
laki-laki tersebut menemui suatu masalah dalam hubungannya. Perempuan merasa
bahwa masalah tersebut yang membuatnya berani mengatakan kekesalannya yang
terpendam selama ini demi menjaga perasaan si laki-laki. Namun, saat itu
baginya bukan saatnya lagi ia harus mempertahankan hubungan dengan laki-laki
tersebut. singkat kata ia berani mengambil keputusan untuk berpisah dan meninggalkan
laki-laki tersebut dengan alasan karena si laki-laki sudah terlalu sering
mengecewakannya.
Laki-laki tersebut setelah
ditinggalkan perempuan tadi berusaha menjelaskan bahwa perasaannya begitu dalam
dan sungguh-sungguh. Karena selama ini ia tidak pernah mau menjalin hubungan
dengan perempuan manapun kecuali perempuan tersebut. Si laki-laki tidak
menyangka secepat itu dirinya ditinggalkan. Ia bersedih karena perempuan yang
dicintainnya saat itu meninggalkan beliau. Namun, perempuan tetap teguh untuk
berpisah karena ia telah merasa sudah sedemikian rumit masalahnya dengan
laki-laki tersebut.
Penulis melihat bahwa dalam kisah
tersebut yang menjadi domain utamanya
yaitu keinginan untuk menikah. Perempuan tak mampu lagi menerima alasan
laki-laki untuk bertahan. Karena dalam pikiran perempuan tersebut, kalau sudah
menikah ia akan terlepas dari gundah gulananya selama ini. Yang menjadi beban
terutama dari tetangga bahkan keluarganya sendiri. Namun, laki-laki belum mampu
memenuhinya, karena dalam pikirannya dengan menikah ia merasa belum mampu
mencukupi kehidupan perempuan tersebut bila suatu saat nanti ia persunting.
Sebenarnya, perempuan dan
laki-laki tersebut bukannya tidak mengerti kondisi masing-masing pikiran
keduannya. Dalam kisah tersebut, kesabaran dan keyakinan (komitmen)
masing-masing sedang diuji. Andaikan keduannya saling bersabar dan lebih
merenungi tentang makna pernikahan, mungkin mereka tidak akan menemui jalan
perpisahan. Cinta di antara keduanya harus yatim-piatu karena tuntutan
orang-orang di sekitarnya dan tekanan lingkungan yang meruntuhkan cintanya. Tamat…
*Tulisan untuk mengenang kamu,
Senjaku dulu…
Comments
Post a Comment