Perang Realitas dan Idealitas dalam Asmara*

 


Suatu hari seorang perempuan gelisah karena merasa keadaannya saat itu begitu dilematis dan rasanya begitu berat memikul keadaan. Ia telah memasuki usia di mana teman-temannya telah lebih dulu dipinang oleh laki-laki. Ia ingin seperti mereka yang telah menemukan tambatan hatinya (menikah), bisa mencurahkan segala beban hidup yang dirasakannya. Bercengkrama bersama suami, menyiapkan sarapan pagi dan memadu kebersamaan yang bila dilukiskan akan tiada terkira indahnya.

Sementara pendidikan tinggi yang sedang ia tempuh, baginya bukan suatu penghalang untuk melangsungkan pernikahan di tengah masa-masa kuliah. Ia selalu berkata siap dan mau menanggung resiko. Pernyataan itu yang selalu ia sampaikan pada seorang laki-laki yang pada waktu itu sangat dekat dengannya. Ia memang perempuan yang jujur dan mau berbicara apa adanya. Kurang lebih seperti itulah alam pikiran perempuan tersebut yang bisa penulis tangkap. Ia punya itikad baik menjalin hubungan yang lebih serius yaitu pernikahan.

Situasi dilematis yang dirasakan oleh laki-laki yang waktu itu dekat dengan perempuan tersebut juga tak kalah hebatnya. Dilematis karena laki-laki tersebut juga sama halnya yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Barangkali tidak ada seorangpun yang tidak mau hidup bersama dengan orang yang dikasihinya. Setiap orang punya perasaan yang sama bahwa keinginan hidup bersama dengan tambatan hatinya bisa terwujud. Bukan hanya itu, bahkan setiap orang selalu berharap mereka harus  bisa bertahan hingga mautlah yang dapat memisahkan.

Apa yang terlihat jelas di antara perempuan dan laki-laki tersebut pada saat itu adalah “perang pikiran dan batin”. Si perempuan, karena ia merasa telah lama menjalin interaksi dengan laki-laki tersebut, dalam beberapa waktu mengatakan bahwa dirinya sudah tak mau berlama-lama lagi untuk menikah. Dengan harapan beban tadi yang telah disebutkan di atas sirna sama seperti teman sebayanya yang telah sah dipinang oleh laki-laki. Baginya menikah selain mengurangi gundah gulananya, juga akan meringankan beban keluargannya. Ini cerita alam pikiran perempuan tersebut.

Si laki-laki saat perempuan tersebut mengutarakan keluh kesahnya, dalam batinnya juga tidak mau lagi megumpulkan banyak alasan untuk memberikan tenggat waktu lagi. Namun, batinnya juga sama menjerit karena dalam realitasnya ia belum mampu memenuhi keinginan perempuan itu. Dalam pikirannya, tentu akan banyak hal yang harus dipersiapkan demi membangun rumah tangga. Bekal kebutuhan pokok sehari-hari, tempat tinggal, biaya kuliah keduanya, apalagi bila nanti tiba saatnya bersalin. Laki-laki tersebut belum mampu membayangkan kebutuhan-kebutuhan tersebut datangnya dari mana.

Suatu hari perempuan dan laki-laki tersebut menemui suatu masalah dalam hubungannya. Perempuan merasa bahwa masalah tersebut yang membuatnya berani mengatakan kekesalannya yang terpendam selama ini demi menjaga perasaan si laki-laki. Namun, saat itu baginya bukan saatnya lagi ia harus mempertahankan hubungan dengan laki-laki tersebut. singkat kata ia berani mengambil keputusan untuk berpisah dan meninggalkan laki-laki tersebut dengan alasan karena si laki-laki sudah terlalu sering mengecewakannya.

Laki-laki tersebut setelah ditinggalkan perempuan tadi berusaha menjelaskan bahwa perasaannya begitu dalam dan sungguh-sungguh. Karena selama ini ia tidak pernah mau menjalin hubungan dengan perempuan manapun kecuali perempuan tersebut. Si laki-laki tidak menyangka secepat itu dirinya ditinggalkan. Ia bersedih karena perempuan yang dicintainnya saat itu meninggalkan beliau. Namun, perempuan tetap teguh untuk berpisah karena ia telah merasa sudah sedemikian rumit masalahnya dengan laki-laki tersebut.

Penulis melihat bahwa dalam kisah tersebut yang menjadi domain utamanya  yaitu keinginan untuk menikah. Perempuan tak mampu lagi menerima alasan laki-laki untuk bertahan. Karena dalam pikiran perempuan tersebut, kalau sudah menikah ia akan terlepas dari gundah gulananya selama ini. Yang menjadi beban terutama dari tetangga bahkan keluarganya sendiri. Namun, laki-laki belum mampu memenuhinya, karena dalam pikirannya dengan menikah ia merasa belum mampu mencukupi kehidupan perempuan tersebut bila suatu saat nanti ia persunting.

Sebenarnya, perempuan dan laki-laki tersebut bukannya tidak mengerti kondisi masing-masing pikiran keduannya. Dalam kisah tersebut, kesabaran dan keyakinan (komitmen) masing-masing sedang diuji. Andaikan keduannya saling bersabar dan lebih merenungi tentang makna pernikahan, mungkin mereka tidak akan menemui jalan perpisahan. Cinta di antara keduanya harus yatim-piatu karena tuntutan orang-orang di sekitarnya dan tekanan lingkungan yang meruntuhkan cintanya. Tamat…

 

*Tulisan untuk mengenang kamu, Senjaku dulu…

Comments