Dalam tulisan sebelumnya, saya berusaha untuk jujur pada diri sendiri tentang kondisi pikiran (state of mind) menjelang Ramadan yang justru diliputi kesedihan, terutama saya selalu ingat perbuatan yang telah lalu, saya suka malu sendiri. Saat itu saya berusaha menghisab diri kecil-kecilan, sebelum nanti dihisab sungguhan di hari penghisaban (yaumul hisab). Berusaha untuk menyempatkan waktu bermuhasabah selama setahun yang lalu terhitung sejak Ramadan kemarin. Muhasabah atau menghitung-hitung itu kiranya juga tidak salah bila dilakukan pembaca, tandanya kita jujur dan mengakui bahwa manusia seperti kita memang sering berbuat salah, baik yang disengaja/ingat maupun tidak sengaja/tidak ingat.
Bila seseorang
tidak mau bermuhasabah, tandanya masih ada kesombongan di dalam diri. Sifat seperti ini tidak baik bila dibiarkan
terus menerus. Karena kesombongan tandanya dekat pada kehancuran menurut para penyair. Saat kita bermuhasabah dan dalam prosesnya kita menemukan
kesalahan pada diri sendiri, sebaiknya jujur saja bahwa memang itu perbuatan yang salah. Ironi bila sebaliknya, kita menjadi arogan dan apologis terhadap
kesalahan diri sendiri dan menganggap hal itu wajar-wajar saja. Dan kemudian memaafkan
perilaku diri yang salah menurut norma-norma agama.
Bila telah jujur
sejak awal, akan ringan beban hidup. Buat
apa muhasabah kalau ujungnya tidak mau jujur, percuma! Kita tidak mau
digolongkan sebagai orang yang bermuka dua, antara hati dan kata tidak
beriringan. Jujur dalam menjalani hidup baik hidup beragama, hidup
bermasyarakat, hidup bernegara, hidup dalam pertemanan, hidup dalam pekerjaan
dan hidup dalam pendidikan akan mendatangkan karunia dan rahmat Allah Swt
tentunya. Karena jika tidak, semua itu akan berantakan.
Nabi sendiri,
selalu berkata dan berlaku jujur serta menyebarkan kejujuran pada
sahabat-sahabatnya. Kejujuran Nabi dikenal luas oleh suku Quraisy di Makkah
saat itu, padahal Nabi sendiri tidak pernah mengatakan ialah yang paling jujur
dalam hidup. Ini terjadi terutama karena kejujuran itu sudah menempel dalam
perilaku sehari-hari. Seperti perilaku Nabi yang jujur dalam berdagang, hingga
Khadijah, janda kaya yang akhirnya menikahi Nabi pada waktu itu, terpesona akan
sosok Nabi Muhammad saat umurnya masih berdarah muda. Kejujuran telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan paripurna.
Sekali kita
berbohong, menurut para pujangga, akan selalu diikuti oleh kebohongan lainnya. Bila
berbohong sudah terhujam dalam perilaku, orang lain pun akan berpikir dua kali
ketika berhadapan dengan diri kita. Jujur dalam segala bidang, misalnya dalam
berdagang, bukannya tidak boleh mengurangi timbangan itu? Makna luasnya bukan
berarti mengurangi timbangan saja, apapun yang menguntungkan pribadi di luar
batas wajar dan merugikan orang lain, maka itu bisa dibilang mengurangi
timbangan juga. Melakukan riba dalam berdagang, juga salah satu berprilaku
tidak jujur.
Berprilaku jujur
artinya kita sedang menjalankan ajaran agama yang memang mengajarkan kejujuran.
Para kafir Quraisy ketika Nabi diutus ke tengah mereka, saat itu mereka bukan
tidak tahu, tapi tidak mau jujur saja. Padahal di antara mereka ada pemuka
agama yang paham al-kitab dan mengingatkan akan kedatangan Nabi pamungkas,
seperti Waraqah Bin Naufal yang mengetahui kenabian Muhammad Saw. Ia mengatakan
bahwa bila dirinya masih hidup, ia pasti akan ikut membela Nabi. Hanya saja
waktu itu, suku Quraisy tidak mau jujur. Sebab tidak mau jujur itulah mereka
banyak yang akhirnya bermusuhan berawal dari ketidakjujuran.
Kalau berbohong
itu merupakan sesuatu yang dibenci dan dijauhi baik oleh manusia yang baik atau
oleh Allah Swt, maka sebaliknya, Jujur itu merupakan perilaku yang disukai,
dicintai dan didekati oleh sesama manusia apalagi oleh Allah Swt yang memang
memerintahkan kita berlaku jujur. Kalau bohong itu merupakan bau tidak sedap,
maka kejujuran adalah harum, yaitu mengharumkan siapa saja yang mengerjakannya.
Kita semua berharap menjadi manusia yang sejujur-jujurnya bukan?
Comments
Post a Comment