Serial Ramadan (1) : Jujur Melakoni Kehidupan

 

Dalam tulisan sebelumnya, saya berusaha untuk jujur pada diri sendiri tentang kondisi pikiran (state of mind) menjelang Ramadan yang justru diliputi kesedihan, terutama saya selalu ingat  perbuatan yang telah lalu, saya suka malu sendiri. Saat itu saya berusaha menghisab diri kecil-kecilan, sebelum nanti dihisab sungguhan di hari penghisaban  (yaumul hisab). Berusaha untuk menyempatkan waktu bermuhasabah selama setahun yang lalu terhitung sejak Ramadan kemarin. Muhasabah atau menghitung-hitung itu kiranya juga tidak salah bila dilakukan pembaca, tandanya kita jujur dan mengakui bahwa manusia seperti kita memang sering berbuat salah,  baik yang disengaja/ingat maupun tidak sengaja/tidak ingat.

Bila seseorang tidak mau bermuhasabah, tandanya masih ada kesombongan di dalam diri.  Sifat seperti ini tidak baik bila dibiarkan terus menerus. Karena kesombongan tandanya dekat pada kehancuran menurut  para penyair. Saat kita bermuhasabah dan dalam prosesnya kita menemukan kesalahan pada diri sendiri, sebaiknya jujur saja bahwa memang itu perbuatan yang salah. Ironi bila sebaliknya, kita menjadi arogan dan apologis terhadap kesalahan diri sendiri dan menganggap hal itu wajar-wajar saja. Dan kemudian memaafkan perilaku diri yang salah  menurut norma-norma agama.

Bila telah jujur sejak  awal, akan ringan beban hidup. Buat apa muhasabah kalau ujungnya tidak mau jujur, percuma! Kita tidak mau digolongkan sebagai orang yang bermuka dua, antara hati dan kata tidak beriringan. Jujur dalam menjalani hidup baik hidup beragama, hidup bermasyarakat, hidup bernegara, hidup dalam pertemanan, hidup dalam pekerjaan dan hidup dalam pendidikan akan mendatangkan karunia dan rahmat Allah Swt tentunya. Karena jika tidak, semua itu akan berantakan.

Nabi sendiri, selalu berkata dan berlaku jujur serta menyebarkan kejujuran pada sahabat-sahabatnya. Kejujuran Nabi dikenal luas oleh suku Quraisy di Makkah saat itu, padahal Nabi sendiri tidak pernah mengatakan ialah yang paling jujur dalam hidup. Ini terjadi terutama karena kejujuran itu sudah menempel dalam perilaku sehari-hari. Seperti perilaku Nabi yang jujur dalam berdagang, hingga Khadijah, janda kaya yang akhirnya menikahi Nabi pada waktu itu, terpesona akan sosok Nabi Muhammad saat umurnya masih berdarah muda. Kejujuran telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan paripurna.

Sekali kita berbohong, menurut para pujangga, akan selalu diikuti oleh kebohongan lainnya. Bila berbohong sudah terhujam dalam perilaku, orang lain pun akan berpikir dua kali ketika berhadapan dengan diri kita. Jujur dalam segala bidang, misalnya dalam berdagang, bukannya tidak boleh mengurangi timbangan itu? Makna luasnya bukan berarti mengurangi timbangan saja, apapun yang menguntungkan pribadi di luar batas wajar dan merugikan orang lain, maka itu bisa dibilang mengurangi timbangan juga. Melakukan riba dalam berdagang, juga salah satu berprilaku tidak jujur.

Berprilaku jujur artinya kita sedang menjalankan ajaran agama yang memang mengajarkan kejujuran. Para kafir Quraisy ketika Nabi diutus ke tengah mereka, saat itu mereka bukan tidak tahu, tapi tidak mau jujur saja. Padahal di antara mereka ada pemuka agama yang paham al-kitab dan mengingatkan akan kedatangan Nabi pamungkas, seperti Waraqah Bin Naufal yang mengetahui kenabian Muhammad Saw. Ia mengatakan bahwa bila dirinya masih hidup, ia pasti akan ikut membela Nabi. Hanya saja waktu itu, suku Quraisy tidak mau jujur. Sebab tidak mau jujur itulah mereka banyak yang akhirnya bermusuhan berawal dari ketidakjujuran.

Kalau berbohong itu merupakan sesuatu yang dibenci dan dijauhi baik oleh manusia yang baik atau oleh Allah Swt, maka sebaliknya, Jujur itu merupakan perilaku yang disukai, dicintai dan didekati oleh sesama manusia apalagi oleh Allah Swt yang memang memerintahkan kita berlaku jujur. Kalau bohong itu merupakan bau tidak sedap, maka kejujuran adalah harum, yaitu mengharumkan siapa saja yang mengerjakannya. Kita semua berharap menjadi manusia yang sejujur-jujurnya bukan?

 

 

 

Comments