Datangnya bulan suci Ramadan membawa kebahagiaan untuk setiap orang, Nabi menjanjikan bahwa bila kita senang dengan datangnya bulan spesial ini, haram sedikitpun api neraka menyentuhnya. Namun saya tidak ingin berbohong pada diri sendiri, saya harus berkata Jujur bahwa Ramadan tahun ini membuat hati saya sedih sekali (belum bahagia). Apa sebabnya? Banyak!
Saya tidak mau berbohong, karena yang perlu dicatat yaitu, ketika kita menegakan ajaran Islam, adalah bagaimana kita harus jujur dalam menjalankannya. Percuma bila kita beragama namun hati tidak jujur terutama pada diri kita sendiri. Bila pada diri sendiri saja tidak jujur, bagaimana kita bisa Jujur pada Tuhan? Menurut Pribadi, pokok kesedihan itu karena satu hal “Tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat bergantung atas segala sesuatu”.
Ketika kita masih bergantung pada dunia ( kecintaan pada harta, sibuk mencari tahta dan bergantung pada sosok wanita secara membabi buta) saat itu pula kita akan terus menerus diserang bertubi-tubi oleh apa yang dinamakan kesedihan, yang datangnya dari dalam diri kita sendiri bukan dari luar.
Pribadi
menyadari bahwa selama ini kebergantungan diri pada dunia sangatlah besar.
Sampai lupa waktunya ibadah dan mengingat Tuhan di waktu-waktu senggang. Hasil
Ramadan tahun lalu sepertinya juga tak ada buahnya. Dan kali ini dipertemukan
dengan Ramadan lagi. Perjumpaan yang sebenarnya sungguh Pribadi merasa malu
pada diri sendiri dan Tuhan yang telah
menciptakan jasad ini.
Di usia yang telah menginjak kepala dua lebih ini, Pribadi merasa sepertinya memang diri ini belum menjalankan ibadah puasa dengan sejujur-jujurnya. Setahun berlalu terhitung sejak Ramadan kemarin, hati Pribadi memang selalu berbuat kotor dan berprilaku yang tidak mencerminkan sebagai seorang yang beriman. Karena itu perbuatan pun turut tidak sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh teladan kita, Nabi Muhammad Saw.
Kadang Pribadi berlaku jauh dari moral ajaran
Islam, ajaran yang mengajarkan agar kita jujur, tidak sombong, tidak pelit,
bersedekah, taat, patuh dan selalu mengingat Dia dalam keadaan apapun. Pribadi
masih sebaliknya, jauh dari istilah ‘hamba yang dikasihi’ (ibadurrahman).
Banyak kesalahan bukan kesalehan yang terus menerus dilakukan, sering pelit kepada sahabat karena merasa
sayang bila memberikannya, jarang membaca al-Qur’an di waktu senggang, tidak
datang ke pangajian-pengajian (padahal masjid dekat), tidak menjenguk teman
yang sakit yang sangat mengharapkan kehadiran temannya, shalat subuh kesiangan
terus, kenyang sendirian, Iri bila melihat mereka yang lebih banyak harta,
selalu memberatkan orang tua dengan permintaan-pemintaan uang dan barang
tertentu, bermuka judes saat dihampiri pengemis dan setumpuk kesalahan-kesalahan
lainnya yang menggunung.
Sejujurnya itulah diri ini (kita) yang sumber pokoknya adalah
kebergantungan pada dunia atau sering disebut hubbuddunya ! selama dalam diri ini ada karakter hubbuddunya
tersebut, selama itu pula (kita) tidak jujur dalam beragama. Batin akan
selalu menjerit bila terus menerus bertingkah jauh dari perintah Tuhan. Sementara
usia semakin berkurang. Ada saatnya nanti tubuh yang rapuh ini dibalut kain kapan
dan terkubur tanah liat yang gelap gulita. Mengerikan bila mengingat kematian,
hari-hari menjelang diri ini diminta pertanggungjawaban nanti.
Atas semua perbuatan kotor nan tidak baik di atas, maka tidak salah
bila kita bertanya lagi “Sudahkah Kita Berpuasa?” dalam makna yang
seluas-luasnya. Pribadi telah merenung dan kesimpulannya yaitu bahwa selama ini
puasa yang dijalankan pribadi hanya menghasilkan resultan yang nol akibat tidak
ikhlas dan jujur, mungkin sedikit sekali ridha Tuhan yang didapatkan pribadi. Kita
dan waktu terus berjalan, kesalahan dan kekotoran perilaku ini masih bisa
diperbaiki di hari-hari esok, jangan menyerah untuk berubah!
Tujuan puasa bila merujuk al-Qur’an adalah takwa, dan bukan menahan laparya yang sulit bagi kita. Tapi menahan ketaqwaan agar tetap ajeg yang paling sulit itu. Sementara sering ketaqwaan kita digoda oleh nada-nada dunia yang melenakan. Akibatnya puasa kita hanya berlaku di bulan Ramadan dan kadaluarsa bila menginjak tanggal 1 syawal dan seterusnya.
Inilah yang Pribadi
dan teman yang membaca artikel ini, bila senasib sepenanggungan, harus kita
perbaiki. Berpuasalah dari kekotoran hati dan perbuatan selama kita ada dan
hidup di dunia sementara ini. Kita mesti berpuasa membersihkan jiwa, merubah
segala perilaku buruk, dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat bergantung
dan berlindung dari marabahaya yang nyata.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete