IMM Seperti Benua Intelektualisme, Abadi Perjuangan!!!



Saya ingin sedikit bercerita mengapa hingga detik ini saya masih ada di IMM atau Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Ada banyak sebab, salah satunya karena IMM bagi saya seperti sebuah benua (daratan luas)  intelektualisme mahasiswa (kita). Atau  bisa juga disebut sebagai mercusuar keilmuan dan keadaban untuk umat dan persyarikatan. 

Awal saya masuk IMM yaitu sekitar tahun 2017 bulan oktober, saat saya berstatus sebagai mahasiswa baru alias maba. Istilah maba pun dulu saya belum pernah tahu. Tahu-tahu pas verifikasi berkas karena banyak yang negur "A maba ya?" Kata seorang mahasiswi yang entah berantah siapa mereka. Lalu saya balik bertanya "maba itu mahasiswa baru ya?". Mereka menjawab "iya, ayo A kalau mau pesen makanan, nanti pas PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemasiswaan) tinggal diambil di sini" mereka menjawab sambil terheran-heran karena saya baru nyadar maba itu kependekan dari mahasiswa baru.

Kembali ke topik, saya kemudian mengikuti kegiatan Darul Arqam Dasar (DAD), forum perkaderan utama di IMM, forum wajib bila ingin bergabung dan menjadi kader IMM. Tempatnya di MA Muhammadiyah Bayongbong, Garut. Saya banyak mendapat kegiatan positif nan berfaedah selama di IMM. Seperti diskusi filsafat, keislaman, pergerakan mahasiswa, kemuhammadiyahan, hingga membicarakan politik kampus di UIN Bandung. 

Setelah cukup kenyang dengan perkaderan dasar, saya pun melanjutkan jenjang perkaderan lanjutan, namanya Darul Arqam Madya (DAM) di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ ) pada tahun 2019 bulan Fabruari awal. Forum tersebut menurut saya merupakan forum yang sangat luar biasa hebat. Karena kita dididik seperti sedang perang pemikiran (war of thought) dengan kader-kader dari berbagai kampus di Indonesia.

Kala itu merupakan pertama kali saya ke Jakarta sendirian, naik Bus Primajasa kalau tidak salah. Ibu selalu berpesan "hati-hati di jalan, makan yang cukup dan gunakan uang ini untuk beli makanan, jangan menunda hingga lapar" kata Ibu saya waktu di kampung halaman seminggu sebelum berangkat. Saya semakin bersemangat karena  pada saat itu diri saya serasa dibalut nuansa-nuansa perjuangan mencari ilmu dan pengalaman. Dari kegiatan DAM tersebut, banyak teman, kenalan dan pengetahuan yang didapatkan. Waktu itu saya masih semester 4, bisa dibilang lumayan muda untuk seorang  peserta DAM Nasional.   Sementara teman IMM lainnya di UIN Bandung tidak jadi berangkat karena tulisan merekabuat tidak memenuhi syarat (tidak lulus).

Selang beberapa bulan setelah DAM, saya ikut serta dalam kegiatan Latihan Instruktur Dasar (LID) IMM Bogor. Saat itu pun saya sendirian tanpa dibarengi siapapun. Tentu ada rasa takut, tapi saya coba memberanikan diri saja waktu itu. Lokasi pembukaan LID saat itu di Balai Kota Bogor. Sedikit rangkaian peristiwa di atas bagi saya sangat berharga, karena tidak semua mahasiswa mengalaminya. Saya bersyukur sedikitnya mengenal kader-kader dari berbagai daerah. Mereka kemudian hari ada yang menjadi ketua IMM cabang, Presiden Mahasiswa, Ibu Rumah Tangga, Tukang Demo dll.

Saya masih bertahan di IMM karena organisasi ini telah memberikan saya banyak hal, yang tidak diajarkan di dalam kampus. Termasuk latihan menulis, selalu ada senior yang membimbing dan paling senang bila diajak nongkrong di cafe dan makan bersama dengan mereka, dengan catatan ketika mereka punya uang lebih. Hehe.

Saya pernah berpikir apa jadinya saya detik ini bila dulu tidak bergabung ke IMM, mungkin saya hanya memakan bangku kuliah saja. Sedangkan di IMM kuliahnya sudah bukan lagi di kelas, tapi di luaran kelas yang teramat luas cakupannya. Dari sana saya sedikitnya mengenal para dosen yang berafiliasi ke Muhammadiyah. Di usia 57 tahun ini, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih saya pada IMM, karena keberadaan organisai otonom Muhammadiyah ini telah membuat saya menyadari pentingnya ilmu, wawasan dan tanggungjawab moral-intelektual sebagai umat manusia.


Fastabiqul Khairot!!!

Rafi Tajdidul Haq (Anggota IMM Bandung Timur)

Comments