Barista, Cita-Cita dan Muzzamil Hasballah


Sekitar sebulan yang lalu saya bersama Kurniawan Aziz (pemilik akun instagram azriez.in), teman saya sejak sekolah Aliyah dulu, mencoba masuk dalam sebuah institusi koperasi. Saya tahu ini bukan kebetulan, walaupun sejak awal, niat saya sebenarnya hanya untuk mencoba-coba saja tawaran pekerjaan tersebut. "Lumayan jaringan dari senior jangan sampai disia-siakan" Kata saya dalam hati. Tawaran pekerjaan yang sejak awal saya abaikan dan tidak saya lirik sedikitpun. 

Tapi entah kenapa, sejak pertama kali saya lewatkan begitu saja informasi tersebut, ternyata senior saya di IMM belum juga menemukan orang yang pas di koperasi tempat temannya bekerja tersebut,  yang sedang mencari orang buat bekerja di sana. Hingga suatu hari datang informasi lagi koperasi tersebut masih butuh 2 orang buat ngisi bidang sekretariat. Informasi itu sampai lagi ke telinga saya. Akhirnya, saya mulai memberanikan diri untuk mencoba saja dulu, sambil mengisi waktu yang cukup  luang ini, di sela-sela kuliah online. 

Setelah sebulan berlalu, pekerjaan tidak begitu sulit, hanya kutak-ketik di depan komputer, design, buat surat, mencatat hasil rapat, buat invoice dan kadang-kadang diajak makan nasi padang yang jarang saya temui bila saya hanya rebahan di kosan , maklum anak kosan biasanya gitu. Hehe. Sedikit demi sedikit saya mulai memperhatikan apa itu koperasi dan terutama mengenai bisnis di dalamnya.

Karena koperasi ini juga bergerak sebagai produsen kopi, mau tidak mau saya harus tahu sedikit banyaknya pengetahuan tentang kopi. Seperti kopi robusta, arabika, dan produk turunan-turunannya. Hampir setiap hari saya ngopi di kantor dengan kopi yang rasanya lebih murni. Biasanya saya menyeduh kopi warung yang banyak gulanya, kopinya hanya sedikit. Atau sesekali kopi yang ada creamernya. Biar lebih variatif saja dan menghilangkan rasa bosan.

Singkat kata, saya diajak untuk meramu 3 buah kopi yaitu kopi arabika, kopi ki santri dan kopi rempah. Tujuannya agar nanti ketika ada suatu event saya bisa dilibatkan dan bantu meracik kopi berdasarkan latihan-latihan sebelumnya. Ternyata memang benar, keesokan harinya koperasi kami diundang  menjadi partner syukuran dan promo warung sate di suatu daerah di kota Bandung.  Dalam sebuah grand opening warung sate di daerah Arcamanik, Kota Bandung tersebut, ternyata banyak  peristiwa-peristiwa yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Salah satunya bertemu teman sekolah di MTs dulu, Namanya Agung. Kebetulan ia memang kerja di sana.

Kegiatan tersebut mengundang tamu-tamu khusus mulai dari keluarga, rekan kerja, sahabat dan orang-orang terdekat pemilik warung sate yang merupakan seseorang keturunan Arab itu. Saat itulah pertama kali saya menjadi barista, seorang peramu kopi, yang harus melayani setiap orang yang datang, yang jika dilihat -lihat secara ekonomi nampaknya mereka merupakan orang yang relatif berada, dalam kajian post modernisme ibaratnya mereka disebut cerita-cerita besar (perhatian utama) dalam peristiwa itu. sementara saya merupakan cerita kecil di antara cerita mereka yang sudah besar. Saya sempat berpikir pada waktu "apakah saya sebatas figuran dalam peristiwa ini?".

Dulu saya pernah mengidealkan suatu cita-cita ingin mempunyai cafe dan tempat tongkrongan di sekitaran kampus. Disampingnya ditata buku-buku dan saya bisa menulis apapun di sana tentang pemikiran, novel, puisi dan cerita-cerita pendek. Sambil dipantik kopi hangat yang menggugah selera. Saya juga bercita-cita bukan ingin menjadi polisi, dokter,  tentara, profesor dll. Saya hanya ingin menjadi cendekiawan dan suatu saat menjadi guru bangsa, teladan masyarakat Indonesia. Namun cita-cita itu belum saya dapatkan hingga kini.

Dalam suasana ramai di warung sate tersebut, pikiran saya terus menyala-nyala. Kenapa saya seperti ini, ini sepertinya jalan yang salah bagi saya dan tujuan saya menjadi cendekiawan apakah harus melewati jalan menjadi seorang barista ini? Dalam kehidupan ini, saya ingin banyak menulis buku, manjadi pengisi seminar-seminar kebangsaan dan menjadi cendekiawan yang terus menerus berkarya. Itu yang ada di benak saya. Pertanyaannya "apakah harus melewati semua proses ini?" Pikir saya.

Di sela-sela kegiatan ada seseorang ditemani istri dan anaknya yang saat itu mengenakan cadar. Dia cukup dikenal karena lantunan ayat sucinya yang merdu. Namanya Muzzamil, pernah ngisi di kampus UIN, yang waktu itu saya masih semester lima kalau tidak salah. Awalnya saya tidak sadar dan mengenali mereka, namun koordinator barista di samping saya menyuruh kami untuk memberikan kopi dan menanyakan rasanya kepada beliau. Akhirnya saya berusaha memberikan kopi arabika V60 pada beliau. Kejadiannya sangat cepat, tiba-tiba saya ditawarin oleh teman beliau mau dipoto atau tidak. Saya jawab mau waktu itu, sekaligus mempromosikan kopi buatan kami. "Wahh sama-sama barista difoto nih" Ucap Muzzamil. Apakah ia spontan saja atau memang dia pernah melewati juga masa-masa sebagai barista, saya tidak tahu soal itu. 

Muzzamil seorang yang hafiz Qur'an, saat orang mendengar namanya pasti yang diingat adalah lantunan bacaan al-Qur'an. Seolah bacaan tersebut telah melekat dalam dirinya.  Ini luar biasa hebat, sebab tidak mudah mendapat memori yang baik di mata masyarakat seperti Muzzamil. Itu artinya masyarakat dan para pendengar lantunan ayat suci al-Qur'an yang dibacakannya mempunyai arti dan makna di hati pendengarnya.  Mendengar ucapan Muzzamil saat kita ingin berpose, saat itu pula saya menyadari bahwa harus banyak hal yang harus saya lewati sebelum cita-cita itu saya dapatkan, ini bukan jalan yang salah dan buka juga suatu kebetulan pikir saya kemudian. Ini merupakan jalan yang sudah digariskan dan suatu saat akan menjadi bahan cerita yang menarik untuk diulas bersama orang-orang terdekat saya.



Comments