Pemilu, Pendidikan Politik dan Demokrasi Yang Sehat




Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk partisipasi politik masyarakat terhadap keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara dalam sistem politik demokrasi. Tercatat sudah 12 kali pemilihan umum dilakukan di negara Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2019. Artinya, sejarah pemilu di Indonesia mempunyai rekam jejak yang sangat panjang bila melihat rentang waktu tersebut. 

Pemilu menjadi ajang pergantian kekuasaan yang mendukung bagi sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi. Idealnya, nilai-nilai demokrasi harus hidup dalam  kegiatan Pemilu. Nilai-nilai kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu merupakan cita-cita seluruh masyarakat dalam kehidupan bernegara. Di antara nilai-nilai yang diharapkan hidup dalam Pemilu yaitu, jujur ​​dan adil di samping tentunya langsung, umum dan rahasia.

Berdasarkan hal tersebut, Pemilu menjadi salah satu parameter sebuah negara apakah negara tersebut ada di jalan demokrasi atau sebaliknya. Salah satu contoh yaitu ketika William Liddle dalam bukunya Pemilu-Pemilu Orde Baru, Pasang Surut Kekuasaan Politik dalam Yahya Mulyana Aziz dan Syarief Hidayat (2016) menyatakan bahwa “Pemilu-pemilu rakyat bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat, pemilu-pemilu itu dilakukan melalui proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi yang tidak hanya membantu hampir seluruh proses pemilu, tetapi juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi partai milik pemerintah ” 

Berdasarkan penyelenggaraan Pemilu yang tidak sehat pada zaman orde baru (orba) tersebut, indeks demokrasi Indonesia menempati posisi yang buruk, bahkan mengarah atau dikategorikan sebagai negara dengan kategori otoritarianisme. Akhirnya, pasca reformasi berkembanglah asas Jujur dan Adil disingkat Jurdil dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Hingga detik ini nilai-nilai tersebut senantiasa harus dijaga dan harus dikedepankan jika mau Pemilu kita berkualitas dan demokrasi kita tetap di jalan yang semestinya. Sehingga, demokrasi kita memang mencerminkan ideologi Pancasila Sila ke-4. Sekaligus jika meminjam istilah Buya Syafii, agar Pancasila tidak hanya diagungkan dalam kata, juga tidak dikhianati dalam perbuatan.

Dalam Pemilu tuntutannya bukan hanya tercipta iklim pergantian kekuasaan secara sehat dan legitimate, tapi juga membaiknya kualitas demokrasi kita. Maka dari itu, Pemilu selain menjadi ajang pergantian kepemimpinan, juga harus mendidik masyarakatnya agar segera siuman dalam kesakitan hidup berdemokrasi. Yang paling penting Pemilu mengajarkan masyarakatnya bagaimana menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Pemilu menjadi sarana pendidikan politik kepada seluruh warga negara.

Amanat pendidikan politik tersebut harus sampai pada seluruh masyarakat, tidak terhenti pada mereka yang mencalonkan diri sebagai calon kontestan saja. Di sini, fungsi partai politik yang salah satu tugasnya sebagai sarana pendidikan politik harus turut berkontribusi membangun demokrasi yang sehat. Percuma saja bila Pemilu rutin diadakan namun kesadaran masyarakat terkait partisipasi politik sebagai warga negara tidak kunjung siuman.

Kegiatan Pemilu, di mana setiap orang diberikan penghargaan untuk memiliki hak memilih dan dipilih merupakan kelebihan dalam Demokrasi. Artinya dalam pemilu masyarakat harus bisa menghargai kebebasan setiap orang akan hak-hak politiknya. Pemilu tidak boleh merugikan pesertanya. Berkaca pada hal tersebut bagaimana dengan kondisi Pemilu di tengah Pandemi Covid-19?

Ada yang menarik dengan apa yang disampaikan oleh Dody Wijaya, seorang komisioner KPU Kota Jakarta Selatan pada laman Kompas.com (07/07/2020). Dody menulis sebuah essay tentang pemilu yang judulnya “Pilkada di Tengah Pandemi, Apa Pentingnya Bagi Rakyat?”. Ada beberapa catatan yang disampaikan oleh Dody terkait mengapa pemilu tetap diadakan walaupun di tengah covid-19. Pertama, terdapat 30 negara yang tetap mengadakan pemilu di tengah pandemi sebagai referensi bagi negara Indonesia untuk tetap menggelar pemilu seperti negara Jerman, Perancis, Korea Selatan.

Kedua, menjaga kesinambungan demokrasi. Menurutnya, menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontraproduktif dalam situasi penanganan Covid-19. Selain itu, bila masa jabatan kepala diperpanjang oleh pemerintah, penantang petahana akan bersikap menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat. Ketiga, menggelar pilkada di tengah pandemi juga dapat menjadi pengalaman baru bagi penyelenggara pemilu di Indonesia.

Selama Pemilu tidak merugikan hak-hak individu warga negara, maka tidak menjadi masalah bila Pemilu tetap diadakan walaupun di tengah Pandemi, asal tetap menjaga protokol kesehatan dengan baik dan benar. Jika masyarakat menerapkannya dengan baik, bukankan ini merupakan sebuah prestasi? Tandanya masyarakat sudah memiliki kesadaran dan partisipasi yang tinggi bukan?

Tugas kita sebagai warga negara yang baik adalah senantiasa berpartisipasi dalam membangun demokrasi yang sehat,   salah satunya melalui penyelenggaraan pemilu. Yaitu turut serta dalam mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi di dalam Pemilu. Selain itu, turut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung perbaikan kualitas demokrasi, seperti mengikuti seminar-seminar 4 pilar NKRI, pelatihan dan lokakarya yang diadakan oleh lembaga-lemabaga negara merupakan kegiatan positif yang dapat dilakukan untuk berpartisipasi dalam hidup berbangsa dan bernegara.

 

 


 

Comments