Kartini dikenal
sebagai tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Emansipasi dalam KBBI yaitu
pembebasan dari perbudakan atau persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria). Kartini banyak
dijadikan teladan dalam hal emansipasi wanita berkat gagasan-gagasanya yang
visioner dan populis. Berkat usaha-usaha kartini serta gagasan-gagasannya yang
maju di zaman kolonialisme, Ia akhirnya menyandang gelar sebagai pahlawan.
Kartini hidup di
tengah keluarga yang mapan dan berkecukupan. Sehingga, Kartini digolongkan dalam golongan
masyarakat priyayi. Dengan kondisi seperti itu, Kartini bisa meraih pendidikan
yang tinggi dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Pendidikan yang
didapatkan oleh Kartini membuat ia terpelajar dan berwawasan luas. Itulah setidaknya
yang membedakan antara Kartini dengan wanita-wanita lainnya.
Dewasa ini, gambaran
sosok Kartini terlukis sebagai seorang wanita pribumi tulen. Dengan identitasnya
yang bersanggul dan memakai baju kebaya khas nusantara. Nuansa tersebut jelas
tergambar saat peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April dengan
kegiatan-kegiatan yang bertajuk emansipasi wanita dan kepahlawanan nasional.
Dibalik pencitraan
Kartini sebagai seorang wanita pribumi, Ia ternyata sangat menginginkan
kehidupan di Nusantara seperti kehidupan di Eropa yang sesungguhnya dan formal.
Keinginan tersebut adalah pembacaan sosial Kartini terhadap kegiatan
kolonialisme yang dilancarkan oleh Belanda di Nusantara dan aktivitas
feodalistis yang dilakukan tuan-tuan tanah pribumi.
Imajinasi Kartini
tentang Eropa (Belanda) yang sesungguhnya dan formal adalah Eropa yang sarat
nilai-nilai peradaban serta keunggulan dalam ilmu pengetahuan, demokratis dan
egalitarianisme.[1] Ia
melihat bahwa perilaku kolonialisme di Nusantara merupakan manifestasi Eropa
yang palsu. Sedangkan perilaku orang Nusantara yang feodal merupakan dilema
bagi Kartini ketika itu.
Choirotun Chisaan
dalam buku Ambivalensi melihat sosok Kartini yang terpelajar dan bergelar
priyayi serta kedekatan-kedekatannya dengan orang-orang eropa di Jepara membuat
ia oleh orang-orang pribumi kadang disebut sebagai orang Belanda. Namun di sisi
lain Kartini oleh orang-orang pribumi juga dianggap sebagai orang pribumi yang
banyak berjasa dan merupakan pahlawan bagi bangsa Indoensia.
Kartini oleh
Belanda juga disebut sebagai contoh terbaik hasil didikan Barat. Mereka merasa
telah banyak berjasa bagi pribumi lewat politik etis yang dilakukan pemerintahan
Belanda di Hindia Belanda waktu itu. Mereka juga memposisikan diri sebagai
pembawa misi pemeradaban (civilizing mission) bagi bangsa jajahan.
Implikasi dari
pandangan-pandangan orang-orang pribumi dan orang-orang belanda terhadap Kartini menurut
Choirotun menjadikan Kartini hanya ditempatkan sebagai tokoh-tokoh mitos
melalui hari-hari peringatan. Menurutnya, hal tersebut menutup kesadaran kita
terhadap sosok Kartini sebagai manusia. Pramoediya (2003:12) dalam buku Panggil
Aku Kartini Saja, menyebutnya posisi Kartini sebagai mitos pada hari-hari
peringatan justru mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri.
Di balik sosok
Kartini yang terlihat begitu pribumi, ada hasrat yang terpendam dalam alam pikirnya tentang Eropa yang
domokratis, egaliter dan maju dalam ilmu pengetahuan. Akan tetapi, Kartini juga
sangat mencintai rakyat Indonesia. Sehingga, gagasan-gagasannya tentang
emansipasi wanita dan kepeduliannya pada rakyat kecil di tanah kelahirannya adalah
isyarat penting bahwa Ia adalah seorang wanita pribumi Indonesia.
Referensi :
- Budiawan. Ambivalensi, Post-Kolonialisme Membedah Musik Sampai Agama Di Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra.
- Pramoediya Ananta Toer. Panggil Aku Kartini
Saja
[1] Budiawan. Ambivalensi,
Post-Kolonialisme Membedah Musik Sampai Agama Di Indonesia. Yogyakarta :
Jalasutra. Halaman 141
Comments
Post a Comment